Wae Rebo



Keanekaragaman Hayati Wae-rebo
Wae-Rebo terletak diketinggian ± 1.117mdpl pada suatu teras landai lereng  dengan puncak tertinggi bernama Golo Ponto (± 1.511 mdpl) yang dikelilingi lereng terjal. Terdapat sumber air panas yang menunjukkan sisa-sisa aktifitas vulkanik dimasa lalu.

Sekalipun dikenal sebagai wilayah kering, Pulau Flores (Nusa Tenggara Timur) memiliki variasi iklim daerah pegunungan diatas ketinggian 1.000m di barat daya Flores iklim lebih basah, sehingga hutan mampu bertahan tetap hijau sepanjang tahun tanpa meluruhkan daunnya. Hutan pegunungan ini melingkupi kawasan Wae Rebo, walaupun keberadaan hutan Premier atau Asli sudah sulit ditemukan.

Sejarah
Wae-rebo merupakan kampung terakir yang dipilih  EMPO MARO karena dia mendapat ilham untuk pindah ke tempat lain di arah Timur. Keturunannya hingga saat ini terus menjaga dan melestarikan kampong mereka “Neka Hemong Kuni Agu Kalo” adalah ungkapan itu mempunyai makna bahwa Wae Rebo sebagai tanah kelahiran, tanah pusaka dan tanah tumpah darah yang tidak dapat dilupakan. Banyak masyarakat Flores lebih memilih tinggal di dataran rendah dengan akses dan prasarana yang lebih mudah, warga di Kampung Wae-Rebo tetap mempertahankan kampung mereka yang  berada di dataran tinggi dengan menjaga Adat Istiadat yang mereka miliki.

Pada 27 Agustus 2012 badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan “UNESCO” menganugerahi Wae-rebo sebagai peraih “Award of Excellence” pada UNESCO Asia-Pasific “Awards for Culture Heritage Conservation” yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang Konservasi  Warisan Budaya.

Arsitektur Tradisional Wae-rebo
Wae-rebo merupakansatu-satunya kampung adat di Manggari yang masih mempertahankan bentuk tradisional Manggarai yang disebut “Mbaru Niang” (Mbaru : berarti rumah, Niang : berarti tinggi dan bulat). Mbaru Niang merupakan rumah yang berbentuk kerucut meruncing keatas.

Mbaru Niang merupakan bangunan adat kampung Wae-rebo yang kelestariannya sangat dijaga oleh masyarakat adat setempat secara turun temurun. Leluhur telah mewariskan tujuh bangunan Mbaru Niang yang masih tetap lestari hingga saat ini meski tiga diantaranya sempat rusak. Pada tahun 2008, ketujuh bangunan adat tersebut dapat berdiri kembali melalui kegiatan Revitalisasi Rumah Adat dan kampong Wae-rebo berkat bantuan dari Yayasan Tirto Utomo dan Yayasan Rumah Asuh.

Keseluruhan proses Re-Konstruksi Mbaru Niang dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat lokal, sehingga tidak menghilangkan nilai keaslian dan kesakralannya. Bahkan kegiatan membangun kembali rumah adat ini menjadi penting  perannya dalam mewadahi transfer pengetahuan dan keberlanjutan budaya leluhur dari generasi tua kepada generasi muda di lingkungan masyarakat Wae-rebo.

Tujuh bangunan Mbaru Niang konon merupakan pencerminan kepercayaan leluhur untuk menghormati tujuh arah puncak-puncak gunung di sekeliling kampong Wae-Rebo yang dipercaya sebagai “Para Pelindung” kemakmuran kampong tersebut. Tujuh bangunan Mbaru Niang berdiri di lahan landai dan mengelilingi lingkaran batu yang membentuk Altar/Peralatan dengan sebutan Compang. Compang sebagai titik pusat ketujuh rumah ini diyakini memiliki nilai paling sakral. Ia berfungsi untuk tempat pemujaan dan penyembahan kepada Tuhan dan Leluhur.

Tujuh bangunan Mbaru Niang memiliki nama-nama adat yang berbeda-beda meliputi :

  1. Niang Gendang
  2. Niang Gena Mandok
  3. Niang Gena Jekong (dibangun ulang tahun 2010)
  4. Niang Gena Ndorom (dibagung ulang tahun 2009)
  5. Niang Gena Keto
  6. Niang Gena Jintam
  7. Niang Gena Maro
Di dalam bangunan Mbaru Niang kegiatan keluarga dan masyarakat Wae-rebo terutama berada di tingkat pertama rumah yaitu lantai paling bawah yang disebut tenda. Dengan denah berbentuk lingkaran Niang Gendang (Rumah Utama) memiliki diameter  sekitar 14 meter dan keenam Niang Gena lainnya memiliki diameter sekitar 11 meter. Perbedaan dimensi ini dipengaruhi oleh jumlah keluarga yang menempatinya. Niang Gendang ditempati oleh delapan keluarga, sementara keenam Niang Gena ditempati oleh enam keluarga. Denah lantai pertama ini dibagi menjadi dua bagian dua bagian dengan satu buah pintu masuk/keluar sebagai orientasi fungsi ruang yaitu Molang dan Luntur.

Di dalam Molang sebagai zona privat, terdapat tungku/perapian untuk keluarga masak dan makan, serta kamar-kamar tidur untuk 6-8 keluarga.

Pengurutan kamar-kamar tersebut dilakukan berdasarkan urutak kelahiran setiap kepala keluarga. Tidak berbeda dengan konsep lingkaran dalam penataan tujuh bangunan Mbaru Niang yang berpusat pada Compang, bagian paling sacral dari lantai pertama rumah ini juga berada pada titik pusat di tiang tenagh ruangan yang disebut “Bongkok”. Di depan tiang bongkok inilah biasanya sang Tua Gendang (Ketua Adat) duduk di dalam setiap pertemuan masyarakat Wae-rebo.

Kopi Wae-rebo
Sebelum memasuki kampong kita akan melewati perkebunan kopi masyarakat. Iklim yang mendukung dan tanah yang subur membuat kopi yang tumbuh di Wae-rebo sangat baik dan menjadikan sebagi salah satu komoditi utama warga disana. Perkebunan kopo bagi masyarakat Wae-rebo juga difungsikan sebagai upaya untuk menjaga tanah agar tidak longsor, mengingat kontur tanah yang curam. Satwa liar seperti burung, tupai, musang masih dapat  dijumpai dikebun kopi.

Masyarakat setempat mulai menanam kopi ketika Raja Todo mendapatkan bibit kopi dari Raja Bima dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa pada abad 18. Menurut orang tua, jenis kopi ini merupakan jenis kopi merupakan kualitas unggul lokal seperti Arabica dan disebut Kopi Raja. Akan tetapi saat ini hanya tinggal satu atau dua pohon saja yang tersisa. Jenis kopi ini ditanam disecara terbatas disekitar komplek rumah Gendang. Masyarakat Wae-rebo mulai menanam berbagai jenis kopi pada masa penjajahan Portugis dan Belanda dengan menggunakan bibit dari daerah Sita, dekat kota Borong, Kabupaten Manggarai Timur. Saat ini masyarakan menanam dan membudidayakan beberapa jenis Kopi : Arabica, Robusta dan Columbia.

Kopi Wae-rebo memiliki kualitas Organik karena tanpa mengunakan pestisida. Disaat musim panen aktivitas warga memetik biji kopi merupakan daya tarik bagi pengunjung. Biasanya biji kopi yang telah dikupas dari kulitnya dijemur di halaman rumah mereka. Limbah penggilingan kopi biasanya diolah kembali untuk dijadikan pupuk. Setiap Sabtu warga Wae-rebo memikul kopi dan hasil kebun lainnya untuk dijual dipasar yang diadakan di Dintor setiap hari Senin. Pada hari Senin sore biasanya masyarakat kembali ke Wae-rebo dengan membawa kebutuhan makanan sehari-hari seperti beras, gula, garam, ikan dan sebagainya.

Bagi wisatawan yang berkunjung ke Wae-rebo, secangkir kopi panas dengan citarasa yang khas disajikan warga sebagai rasa hormat dan penghargaan  kepada tamu yang berkunjung, merupakan kenangan yang tak terlupakan. Kopi organik Wae-rebo yang ditanam ditengah pegunungan yang alami nan sejuk merupak kopi berkualitas yang mampu bersaing dengan daerah lain sehingga layak dipasarkan diseluruh penjuru Indonesia maupun Mancanegara.

Musang Sebagai hewan Sakral di Wae-rebo
Saat tinggal di Popo, Empo Maro dan kerabatnya mengalami suatu peristiwa yang menyebabkan warga Wae-rebo hingga saat ini tidak berani menyakiti  dan memakan daging musang. Kisah ini berawal dari sebuah konflik yang terjadi saat  seorang ibu yang susah melahirkan  adaknya, padahal telah melewati masa kehamilan normal. Empo Maro mengambil keputusan untuk membelah perut sang ibu agar anak bisa dilahirkan dengan selamat (mungkin saat ini disebut operasi Caesar). Akhirnya sang anak berhasil selamat sedangkan ibunya tidak dapat diselamatkan. Beberapa tahun berselang setelah mengetahui proses persalinan yang salah menyebabkan kematian sang ibu dan berencana menyerang Empo Maro. Musang datang member kabar kepada keluarga Empo Maro bahwa aka nada serangan terhadap mereka, sehingga mereka segera meninggalkan kampong dan berhasil selamat. Kisah musang yang telah menyelamatkan keluarga Empo Maro diwariskan hingga saat ini, dan musang menjadi salah satu binatang yang di sakralkan di Wae-rebo.

Penti
Penti : Upacara pergantian tahun ala Wae-rebo “Hubungan antara Manusia dengan Sang Pencipta, Hubungan Manusia dengan Manusia dan Manusia dengan Alam Lingkungan

Penti adalah salah satu upacara adat Manggarai untuk mengungkapkan rasa Syukur. Upacar ini dilaksanakan sebagai perayaan pesta tahun baru dalam mensyukuri segala keberhasilan selam satu tahun  penuh dengan memulai kehidupan pada tahun berikutnya. Penti dilaksanakan pada bulan Beko atau bulan November yang merupakan awal bulan dalam siklus perhitungan bulan masyarakat Wae-rebo.

Masyarakat Wae-rebo hidup dalam bercocok tanam. Bagi masyarakat Wae-rebo, menanam adalah sebuah awal dari kehidupan baru dan saat tanaman mulai tumbuh maka awal sebuah kehidupan baru dimulai. Oleh karena itu bulan Beko ditetapkan sebagai awal tahun baru. Penti bisa diartikan  sebagai sebuah acara Wuat Wini atau mempersiapkan benih untuk ditanam dan menyambut datangnya tahun baru yang penuh berkah. Umumnya masyarakat akan mulai menanam Jagung atau Padi setelah Penti. Selain sebagai upacara syukur kepada Tuhan dan Leluhur, Penti juga merupakan wahana silaturahmi seluruh masyarakat Wae-rebo baik yang berapad di kampong atau tanah rantau.

Ritual Upacara Penti
Upacara Penti dilaksanakan selama satu hari penuh dengan beberapa tahapan upacara, yaitu pemberkatan terhadap sumber mata air, keselamatan kampung dan roh jahat. Masyarakat Wae-rebo berkumpul dirumah Gendang untuk menuju ke tempat pemberkatan dengan diiringi oleh nyanyian Sanda yang hanya dinyanyikan saat upacara Penti berlangsung. Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan tarian Caci. Dalam adat masyrakat Wae-rebo, tarian Caci menjadi bagian penting dalam upacara karena hanya ditarikan saat Upacara Penti berlangsung. Tarian Caci dilakukan hingga datangnya waktu sore. Saat matahari mulai terbenam, dilakukan upacara pemberkatan  rumah Gendang dengan melakukan ritual penyembelihan ayam. Tundak Penti atau puncak upacara Penti dilakukan pada malam hari, seluruh masyarakat Wae-rebo berkumpul didalam Niang Gendang (rumah gendang) lalu menyembelih babi jantan dan betina, menyanyikan lagu khusus seperti Sanda Lima dan diakhiri dengan doa. 

Tarian Caci 
Seni merupakan salah satu unsure kebudayaan universal. Manggarai memiliki kebudayaan tersendiri dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat penduduknya. Tarian Caci adalah salah satu kebudayaan  Manggarai yang menampilkan adu ketangkasan antara dua orang laki-laki dalam mencambuk dan menangkis cambukan lawan secara bergantian. Caci diidentikan dengan keperkasaan laki-laki Manggarai karena berkaitan dengan Keberanian, Kejantanan dan daya tarik bagi perempuan. Dalam tarian Caci, penari melawan penari lain yang berlainan kampung dan tidak melawan kerabat sendiri.

Para penari Caci semuanga adalah laki-laki tetapi tidak semua lelaki dapat berlaga menarikan Caci. Tubuh kuat, pandai menyerang lawan dan bertahan, luwes dalam melakukan gerak tari, serta dapat menyanyikan lagu daerah merupakan ragam syarat harus dimiliki penari Caci. Selama atraksi berlansung, tarian ini diiringi music gendang, gong dan nyanyian seperti Lando dan Mbaku.

Atribut Penari Caci
Penari Caci menggunakan celana panjang berwarna putih dipadu dengan kain songket diikat sepanjang lutut. Celana putih dan songket yang dikenakan penari Caci melambangkan kepolosan, kemurahan, ketulusan hati, kesatuan dan sikap patuh orang Manggarai. Pada bagian pinggang terpasang Ndeki berbentuk seperti kuncir kuda, tebuat dari rotan dengan bulu kambing putih yang melambangkan kejantanan dan keperkasaan. Pada bagian pinggang belakang disematkan untaian lonceng yang akan bergemerincing mengikuti gerak penari. Tubuh bagian atas dibiarkan telanjang karena tubuh tersebut adalah sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala para penari mengenakan topeng Panggal yang melambangkan Rang karisma dan kekuatan orang Manggarai.

Penari dipersenjatai dengan cambuk (Larik) yang terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan dengan anyaman rotan diujungnya. Penari juga dibekali perisai (Nggiling) yang juga terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan dan berbentuk bundar untuk menahan serangan lawan. Agang atau Tereng berbentuk busur terbuat dari rotan  atau bahan bambu, dipakai untuk menangkis atau menahan gempuran lawan.

Filosofi Tarian Caci
Caciadalah komunikasi antara Tuhan dan manusia “Ca” berarti satu “Ci” berarti uji. Jadi Tuhan menguji para pemain, satu lawan satu, untuk menguji apakah mereka bersalah atau tidak. Salah satu lambing ujian ini adalah cambuk yang melambangkan kilatan petir. Kilat adalah penghakiman dari Tuhan. Namun kilat juga menghubungkan langit dengan bumi. Caci adalah simbol Tuhan, kesatuan ibu pertiwi dan bapak langit. Perisai di tangan kanan adalah lambing rahim dan ibu pertiwi. Tongkat  anyaman di tangan kiri yang juga berfungsi untuk melindungi adalah lambing langit. Pecutan menjadi kilat yang menghubungkan keduanya. Bekas luka dari tarian Caci menjadi sebuah kebanggaan karena dianggap sebagai lambing maskulinitas. Para penari saling menghormati satu sama lain, dengan menjaga ucapan, emosi, sportifitas dan rasa hormat sehingga tidak ada dendam antara penari setelh melakukan tarian ini.

Caci yang memainkan peranan penting sebagai lambang seni dan budaya Manggarai, dipahami sebagai ritual dengan makna mendalam bagi masyarakat pendukungnya, juga menjadi sebuah atraksi pertunjukan menarik yang menjadi perhatian orang luar. Tarian Caci dipertunjukkan pada upacara Penti (tahun baru atas rasa syukur setelah panen), upacara Pesso Beo (selamatan kampung) menyambut pengantin baru, tamu penting dan dalam upacara lainnnya. 
Disadur dari berbagai sumber

  • Pesona Indonesia
  • National Geographic Indonesia
  • Kompasiana
  • Gramedia Pustaka
Akses ke Waerebo
Dari Labuan Bajo dapat menggunakan Mini Bus arah Bajawa (Bus Gemini) turun di Terminal Ruteng dengan biaya Rp 60.000 yang berangkat jam 05:00 - 5:30 dari Labuan Bajo, dengan lama perjalanan ± 6 Jam atau bisa menggunakan Travel Elf "Gunung Mas" dengan biaya Rp 100.000, usahakan sampai Ruteng jam 11 siang karena kendaraan ke Dintor terakir jam jam 11:00 - 11.30. Traveler bisa juga turun di pertigaan Pela untuk menunggu angkutan truk menuju desa Dintor yang bisa disebut dengan "Oto Kayu" karena bak truk dimodifikasi untuk penumpang dengan papan kayu yang disusun untuk tempat duduk "seperti bangku warteg hehe" 

Yes... siapkan koyo atau balsem karena perjalanan panjang menggunakan Oto Kayu ditempuh ± 4 jam (tergantung isi muatan penumpang) dengan jalan beliku menyusuri sisi gunung dan lereng, karena punggung akan terantuk dengan sandaran bangku yang terbuat dari kayu, disini kita akan disuguhi dengan kearifan lokal dengan sendau gurau dan keramah tamahan sesama penumpang. Oto Kayu akan mengantarkan kita sampai ke desa Dintor, bila lebih dari Lima orang akan diantar sampai ke desa terakir "Denge" tergantung keputusan sopir sih. Sampai desa Dintor melanjutkan perjalanan ke desa Denge menggunakan Ojek.

"Dimana Bumi dipijak, disitu Langit dijunjung"

Bila sampai jam 4 sore di desa Denge tidak disarankan untuk melanjutkan perjalanan ke kampung Wae Rebo, mengingat estimasi perjalanan dari Pos 1 sampai ke Waerebo membutuhkan waktu ± 3 jam traking, karena setiap tamu yang datang ke Wae Rebo akan melaksanakan upacara/doa begitu sampai di kampung adat Waerebo. Dimana upacara/doa sambutan bagi pengunjung hanya dilakukan selama adanya matahari "dari jam 6 pagi ke jam 6 sore" yang mana dimaksud bahwa siang hari "saat ada matahari" aktifitas adalah bagi mahluk hidup untuk melakukan aktifitas, sedangkan malam bagi mereka yang telah mendahului"
Dimana ibu/wanita yang masak untuk makan malam telah kembali kerumah masing-masing, bila kita terap nekat untuk jalan/sampai malam hari maka akan terjadi pergeseran adat/menyalahi adat. Mau tidak mau mereka akan memasak kembali/melayani tidak dengan rasa.

Pos 1 Sungai Wae Lomba
Pos 2 Pocoroko
Pos 3 Rumah Kasih ibu
Hormati Adat serta Budaya Wae Rebo
  1. Sebelum sampai Kampung Adat Wae Rebo diatas bukit akan dijumpai sebuah bangunan/pos 3 yang mana pengunjung akan membunyikan kentongan yang  menandakan akan adanya tamu.
  2. Batas Photo di pos 3 "Rumah Kasih Ibu" pengunjung dilarang mengambil photo/video dari pos 3 ke kampung Wae Rebo sebelum menjalani prosesi/upacara/doa yang dilakukan oleh ketua adat.
  3. Setiap pengunjung diharuskan ke rumah Gendang "Niang Gendang" terlebih dahulu untuk melakukan upacara adat penghormatan kepada leluhur "Waelu'u agar kita diterima bukan sebagai pengunjung/tamu, tetapi sebagai "saudara" dan dihindarkan dari hal-hal yang tidak diinginkan selama berkunjung dan mengambil gambar/video di Wae Rebo.
  4. Tidak diperbolehkan menaiki atau duduk di Compang (altar bulat di depan rumah Gendang).
  5. Gunakan pakean yang sopan serta belaku sopan dan santun.
  6. Mintalah Ijin sebelum mengambil photo seseorang.
  7. Bawalah sampahmu kembali
  8. Tidak memetik tumbuhan, mengganggu satwa serta membuat coretan/tulisan.
  9. Jangan membuang puntung rokok sembarangan karena rumah adat terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
  10. Sebisa mungkin membaca buku bacaan anak untuk pendidikan anak Wae Rebo yang mana akan disimpan di perpustakaan.
  11. Bantu mendidik anak-anak Wae Rebo dengan tiak memberikan sesuatu (permen, uang, mainan, makanan) tanpa seijin orang tua mereka.
  12. Belilah souvenir berupa kain dan kopi Wae Rebo untuk membatu meningkatkan perekonomian mereka. 
Estimasi Biaya ke Wae Rebo September 2017
  • Mini Bus "Gemini" Labuan Bajo -Terminal Ruteng Rp 60.000
  • Truk Kayu "Oto Bus" Ruteng - Dintor Rp 30.000
  • Ojek Dintor - Denge Rp 50.000
  • Homestay "Wejang Asih" Rp 200.000/orang/malam
  • Ojek Homestay - Pos 1 Rp 50.000
  • Guide Lokal Rp 200.000 pp
  • Upacara penyambutan/doa Rp 20.000 oleh ketua adat
  • Retribusi Wae Rebo Rp 200.000/orang Tanpa Menginap (termasuk makan siang)
  • Retribusi Wae Rebo Rp 325.000/orang Menginap di Waerebo
  • Retribusi Wae Rebo Rp 450.000*/orang/malam acara khusus(Penti/Tahun Baru Waerebo)
  • Retribusi Wae rebo Rp 250.000*/pentas acara khusus (Mbata)
  • Oto Kayu Denge - Pela (jemput depan homestay) Rp 40.000 jalan jam 00.30 "pagi"
  • Mobil travel (Pela - Labuan Bajo) Rp 60.000 - 110.000 (tergantung nego)




0 komentar:

Posting Komentar